Keberadaan Pura Tunggul Besi memang belum banyak dikenal umat, namun sudah sering didengar namanya. Berada pada ketinggian 1.330 dpl, di Desa Pakraman Temukus, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, pura ini berdekatan dengan tiga pura di sekitarnya -- Pura Singarata, Pura Sekar dan Pura Luwih. Selain keempat pura tersebut, pada sisi sebelah Barat Daya dari Pura Tunggul Besi ada kawasan yang dipingit oleh pangempon setempat yang dinamakan Kayoan Dedari. Di sisi Tenggara, ada Petirtan Majapahit atau dinamakan juga Tirta Bujangga. Dan di sisi Selatan ada Pura Payasan.
Apakah semua ada kaitannya? Masih perlu dikaji. Sampai saat ini, kawasan tersebut masih alami dan asri, terbentang hamparan padang kasna (edelweiss) dan bunga gumitir yang menjadi salah satu mata pencaharian penduduk setempat, selain beternak sapi.
“Lebih banyak umat yang tangkil hanya mengenal Pura Tunggul Besi saja,“ jelas Jro Mangku Kari, Jan Banggul pura tersebut.
Dikatakan, keberadaan keempat pura tersebut sudah di-sungsung turun-temurun dari leluhurnya, dan saat ini sedang direncanakan untuk ditata ulang. Tahun 1963, ketika Gunung Agung meletus, sebagian kawasan pura ditutupi pasir. “Sebagian besar penduduk memilih mengungsi ke daerah lain serta membawa harta benda yang bisa diselamatkan termasuk lontar warisan leluhur yang di antaranya mengisahkan keberadaan Pura Tunggul Besi ini,“ jelasnya.
Prasasti Asah Duren
“Sehubungan dengan rencana penataan keempat pura yang ada di kawasan Pura Tunggul Besi, telah dibentuk panitia kerja,“ ungkap Nengah Sindia, ketua panitia terpilih. Beberapa sumber informasi sudah berhasil dikumpulkan, salah satunya berasal dari prasasti yang berada di Banjar Temukus, Desa Asah Duren, Pekutatan, Jembrana. Secara garis besar isinya menyatakan bahwa I Pasek Gelgel ditempatkan di Temukus oleh Ida Dalem (raja saat itu) dan diberikan pasukan yang terdiri dari 8 desa, yakni Temukus, Banjar Tengah, Kesimpar, Pura, Kedampal, Lebih, Telun Bhuwana, dan Badeg. I Pasek Gelgel diberikan kuasa atas desa-desa tersebut, serta kewenangan untuk mengatur segala tata upakara-upacara di Pura Puseh, Dalem, dan Bale Agung. Juga ditugaskan pula untuk menjaga Pura Luwih, Pura Sekar, Pura Singharata dan Pura Tunggul Besi. Keempat pura tersebut ditandai dengan batas-batas : wates klod, di Cangkeng, kangin di Tukad Lebih, kauh di Kayoan Kampek, dan kaler di Jabayan Pura Payasan. Pembacaan prasasti tersebut dilaksanakan 16 November 2005, bertepatan pada rahina Purnama Kalima. Demikian dijelaskan oleh Nengah Sindia.
“Piodalan di Pura Tunggul Besi dilaksanakan enam bulan sekali, yakni setiap rerainan Tumpek Landep,“ jelas Mangku Alit, sembari menyebut piodalan kali ini akan jatuh pada Sabtu, 7 Mei 2011. Biasanya banyak pemedek yang tangkil sembahyang, bahkan ada yang langsung makemit di pura. Piodalan di Pura Luwih setiap Saniscara Kliwon, Kuningan. Di Pura Sekar, dina Anggara Kliwon, Medangsia. Dan di Pura Singharata, pada dina Saniscara Kliwon, Krulut. Menuju kawasan Pura Tunggul Besi bisa melalui jalan beton di sebelah timur Pura Kiduling Kreteg, atau desa Batusesa.
Ada pula informasi yang mendukung keberadaan keempat pura ini, yang telah diringkas dan dibaca pada dina Saniscara Paing, wuku Menail, 22 September 2007. Isinya, bertutur di antaranya tentang Prabu Marakata Pangkaja, seorang putra dari Prabu Udayana, selain Prabu Erlangga dan Prabu Wungsu (Anak Wungsu). Dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Prabu Marakata, Tutur Gong Besi itu dideklarasikan sebagai uger-uger desa dresta – maka pagwaning desa dresta, pada masa Bali Kuna. Pada masa itu tanah Bali dinamakan Bali Kadewatan.
Menurut Wayan Griya dan Wayan Rema, dari Balai Arkeologi yang melakukan survei, menarik kesimpulan atas peninggalan arkeologi di sejumlah pura di Desa Temukus, Karangasem. Pertama, bahwasannya kawasan lereng Gunung Agung merupakan kawasan cukup penting yang diperhitungkan pada masa lalu. Seperti tersurat dalam prasasti Bila II berangka tahun 955 Caka yang menyebutkan Raja Marakata dimakamkan di sebuah tempat di Bukit Cemara Gunung Agung. Tidak terkecuali juga kawasan di sekitarnya seperti kawasan Desa Temukus ditemukan bangunan suci berupa padma yang diyakini berumur tua, karena memiliki kekhasan relief manusia sederhana pada salah satu sandaran bangunannya.
Mengamati arsitektur bangunan padma bagian depan, diduga didasari konsepsi pada waktu kedatangan Danghyang Nirarta. Beliau memetik bunga dan memegang bunga teratai di depan dada. Kuatnya pengaruh konsepsi padma dalam perkembangan arsitektur tatkala masa kejayaan Raja Dalem Waturenggong pada abad ke-16, diduga pula bangunan ini berasal dari masa abad ke-16/17, karena bangunan pemujaan yang ditemukan di kawasan ini sebagian besar berbentuk padma. Diduga, keberadaan bangunan padma di Pura Temukus berasal pada masa kejayaan berkembangnya arsitektur tersebut di masa pemerintahan Dalem Waturenggong.
Kedua, tinggalan genta perunggu yang ditemukan di Temukus diduga dibuat di Bali, mengingat tradisi pembuatan genta perunggu sudah dikenal sejak lama. Namun konsepsi pembuatan tidak terlepas dari pengaruh luar (Jawa Hindu), melihat pada pengerjaannya yang sangat halus dan patinanya asli kuat melekat dan sukar dibersihkan. Pun memperhatikan tipe hiasannya, maka genta ini cenderung mengarah pada langgam Jawa Timur yang diperkirakan berasal dari abad 16. Dugaan ini didasari atas perbandingan dengan sejumlah koleksi genta pendeta koleksi Sono Budoyo yang berasal dari abad 15-16. Pada ujung genta berhiaskan vajra. Genta ini diduga memiliki makna dan diduga dipergunakan untuk pemujaan Dewa Iswara.
Perencanaan penataan ulang dari keempat pura ini sudah disurvei oleh tim dari Unud, khususnya Fakultas Teknik Sipil dan Arsitektur. Tujuannya, membangun kembali dan melengkapi sarana bangunan serta memperluas keempat pura tersebut agar lebih memadai dan ideal sebagai tempat suci, sebagai sarana untuk meningkatkan srada bakti kepada Ida Sang Hyang Embang. Dari sumber referensi seperti yang disebutkan di atas diusulkan agar parahyangan yang akan dibangun sebagai monumental dari tiga masa yang berbeda, yakni masa Bali Kuno (Prabu Marakata) berupa Candi, masa Bali Majapahit (padma yang ada saat ini), dan masa Bali kekinian. Dimensi bangunan dengan masa yang berbeda ini akan menjadi saksi bisu yang mengisyaratkan bahwa di Bali memang pernah ada masa seperti itu. Inilah yang kami wariskan, sehingga keberagaman masyarakat yang ada eling, tidak ada yang perlu dipertentangkan.
By : Bli Kecuk Bagoes Genjing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar