Senin, 05 September 2011

Galungan dan Kuningan


Galungan jatuh pada hari Buda Kliwon Dungulan. Kuningan jatuh pada hari Saniscara Kliwon Sinta (Tumpek Kuningan). Galungan pada tahun ini jatuh pada tanggal 6 Juli 2011, sedangkan Kuningan jatuh pada tanggal 16 Juli 2011. Merupakan perayaan terbesar dan sakral bagi orang Bali. Prosesi hari raya Galungan dimulai saat hari Saniscara Kliwon Wariga (Tumpek Wariga/Tumpek Uduh/Tumpek Pengatag). Dan prosesi Galungan dan  Pegatwakan.

Hal yang paling khas terlihat pada saat menjelang hari Galungan adalah adanya kesibukan masyarakat khususnya orang Bali dalam melakukan persiapan upacara dengan memasang wastra, menata rumah serta penjor yang berdiri di depan rumah di sepanjang jalan. Para wanita sibuk membuat jajanan dan mempersiapkan hasil bumi untuk ditata di atas banten sebagai persembahan kepada alam semesta. Sementara kaum pria menata rumah dan merajan, memasangi wastra untuk persiapan pelaksanaan upacara. Sebuah tradisi yang diwariskan turun-temurun dan masih melekat hingga kini.

Sejauh ini masyarakat memahami hari raya Galungan dan Kuningan sebagai hari "kemenangan dharma melawan adharma". Pemahaman ini telah dibenamkan di benak orang Bali sejak anak-anak. Dan hanya sejauh itulah yang umumnya dipahami. Namun kali ini redaksi Galang Kangin mencoba memberi pandangan yang berbeda dalam memaknai hari raya Galungan dan Kuningan.

Galang Kangin melihat hari Galungan - Kuningan sebagai proses penciptaan alam semesta. Galungan yang dirayakan setiap 210 hari sekali melambangkan proses penciptaan yang selalu berkesinambungan. Seperti halnya manusia dimana setiap kelahirannya ditetapkan sebagi "otonan-nya", maka hari Galungan - Kuningan merupakan "oton" dari alam semesta. Galungan merupakan awal penciptaan, sementara Kuningan merupakan akhir dari proses dimana ciptaan telah mewujud. Hal ini bisa diilustrasikan dengan proses pernikahan yang terjadi di Bali.

Prosesi hari Galungan diawali dari hari Tumpek Pengatag. Ini merupakan proses awal dari sebuah pernikahan (baca: penciptaan), dimana pihak yang akan menikah  memanggil dan menyiarkan kepada para handai taulannya, untuk membuat kesepakatan. Demikian pula alam beserta komponennya bersepakat untuk melakukan proses penciptaan. Prosesi selanjutnya jatuh pada hari Sugihan Jawa. Sebelum proses pernikahan (baca: penciptaan) dilangsungkan, dilakukan pembersihan terhadap hal-hal di luar diri (Jawa = Jaba = luar). Alam pun akan mengambil sikap ini yang terwakili melalui komponen-komponennya. Orang Bali yang merupakan komponen dari alam Bali, pada hari Sugihan Jawa ini, dengan suka cita akan membersihkan, menata dan menghias rumah dan merajan-nya. 

Ini merupakan persiapan fisik dari proses penciptaan. Satu hari berikutnya adalah hari Sugihan Bali. Kata Bali sama dengan Bala atau berarti "Dia yang memiliki kekuatan". Kata "Dia" dikonotasikan kepada Sang Diri. Setelah lingkungan yang merupakan aspek di luar diri dibersihkan dan ditata, pada hari Sugihan Bali, mulai melakukan pembersihan dan penataan diri. Alam mulai menata dirinya melalui komponennya, yaitu orang Bali, mempersiapkan aspek pikiran dan mentalnya ke arah proses penciptaan. 

Prosesi selanjutnya adalah hari Penyekeban. Dalam proses penciptaan dibutuhkan dua unsur, yaitu unsur maskulin (purusa/laki-laki) dan unsur feminin (pradana/wanita). Dalam tradisi pernikahan di Bali, tiga hari menjelang hari pernikahan, pihak wanita (pradana) akan dipinang dan dikurung (disekeb) di gedong. Dalam konteks Galungan secara holistik, pada saat ini alam semesta sedang mempersiapkan aspek feminin (pradana) agar matang dan terpusat menjadi sebuah energi. Sementara dalam tradisi Galungan, masyarakat pada umumnya membuat (nyekeb) tape. 

Sehari kemudian disebut sebagai hari Penyajaan. Sering diartikan saat untuk membuat jajanan untuk upacara. Sementara pihak laki-laki akan membuat penjor dan mendirikannya di depan rumah. Ilustrasi dari membuat jajanan itu sendiri merupakan elemen pelengkap dari proses penciptaan. Sedangkan pembuatan dan pendirian penjor memiliki makna tersendiri.

Pada umumnya penjor diartikan sebagai perwujudan gunung. Gunung merupakan aspek maskulin (purusa). Aspek maskulin dari alam semesta disimbolkan dengan lingga. Sehingga penjor merupakan perwujudan dari lingga. Atau (maaf) dengan bahasa sedikit vulgar, penjor melambangkan kelamin laki-laki yang sedang tegak berdiri/ereksi. Yang siap bertemu dan bersatu dengan yoni, sang pradana. Bahkan sekilas secara anatomi pun tanpak jelas menggambarkan kelamin laki-laki.

Sehari menjelang Galungan, adalah hari Penampahan. Orang Bali biasanya memotong hewan untuk melengkapi sarana upacara dan sisanya untuk dikonsumsi sendiri. Hakekat dari hari penampahan terletak pada tumpahnya darah.  Ketika lingga yang telah tegak berdiri (penjor) bertemu dengan yoni yang telah matang dan siap menanti, lalu terjadi proses penyatuan, saat inilah darah tertumpah (pada manusia robeknya selaput dara). Jadi pada penampahan, terjadi penyatuan lingga yoni di tatanan fisik.

Galungan

Ketika proses penyatuan telah mencapai puncak/klimaks, saat itulah energi maskulin/sang purusa yang mewujud dalam bentuk spermatozoa, keluar, bergerak dan menyatu dengan energi feminin/sang pradana dalam bentuk sel telur (ovum). Di sinilah proses penciptaan terjadi. Ketika sperma bertemu dengan sel telur. Ketika kama petak menyatu dengan kama bang. Ketika lingga bersatu dengan yoni. Atau dalam bahasa spiritual disebutkan bersatunya Siwa sang purusa dengan Parwati sebagai pradana. Saat itulah dua yang menjadi satu mewujud menjadi Ongkara (OM). Hari Galungan merupakan titik dimana penciptaan terjadi. Saat inilah waktu mulai tercipta. Sama halnya dengan manusia, umur janin dihitung ketika zygote (janin) mulai terbentuk. Saat itulah dikatakan waktu tercipta, karena penghitungan umur janin dimulai.
Dari hari Galungan menuju hari Kuningan berjarak sepuluh hari. Ini melambangkan sepuluh tahapan dari Dasa Maha Widya (sepuluh pengetahuan utama) dari proses penciptaan. Sementara diantara sepuluh titik terdapat sembilan jeda/antara. Ini melambangkan sembilan bulan proses pertumbuhan janin di dalam rahim hingga hari kelahiran. Pada saat proses penciptaan berlangsung, digambarkan seluruh dewata-dewati turun ke dunia untuk menyaksikan dan memberi berkah. Menggambarkan seluruh energi, seluruh elemen, seluruh aspek alam semesta turut ambil bagian saat berlangsungnya penciptaan. Sementara sepuluh tahapan penciptaan, dalam Dasa Maha Widya dimanifestasikan menjadi wujud sepuluh dewi yaitu Kali, Tara, Tripura Sundari, Buana Iswari, Bhairawi, Chinnamasta, Dhumawati, Bhagalamuki, Matangi, Kamalatmika.

Kuningan (Tumpek Kuningan)

Setelah melalui sembilan jeda (sembilan proses), maka pada hari kesepuluh, tepatnya pada Kuningan, proses penciptaan mencapai puncaknya, dimana hasil dari ciptaan telah mewujud. Kuningan merupakan salah satu dari enam rerainan tumpek. Rerainan tumpek jatuh pada pertemuan Saniscara yang merupakan puncak dari Saptawara, dengan Kliwon yang merupakan puncak dari Pancawara. Masing-masing merupakan puncak siklus.

Saptawara mewakili aspek pradana sementara Pancawara mewakili aspek purusa. Sehingga tumpek merupakan penyatuan dari purusa-pradana yang berwujud "OM" (Ongkara). Sementara Kuningan mewakili pertiwi yaitu materi. Tumpek Kuningan bisa dimakanai dengan OM (Ongkara) yang mengambil wujud dalam bentuk materi (Pertiwi). Pada hari Kuningan ini proses penciptaan mencapai puncaknya dengan mewujudnya ciptaan tersebut (buana agung/buana alit) dalam materi (Pertiwi). Pada hari ini dewata-dewati, widyadara-widyadari menari bersuka-cita menyambut Dia Yang Agung mengambil wujud untuk kembali masuk dalam "permainanNYA". Dia yang disebut sebagai Lalita Tripura Sundari Kamalatmika Bhairawi (Dia yang bermain, yang menguasai tiga dunia).

By Jro Gede S.

Pura Tunggul Besi

Peradaban yang tak Perlu Dipertentangkan

Keberadaan Pura Tunggul Besi memang belum banyak dikenal umat, namun sudah sering didengar namanya. Berada pada ketinggian 1.330 dpl, di Desa Pakraman Temukus, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, pura ini berdekatan dengan tiga pura di sekitarnya -- Pura Singarata, Pura Sekar dan Pura Luwih. Selain keempat pura tersebut, pada sisi sebelah Barat Daya dari Pura Tunggul Besi ada kawasan yang dipingit oleh pangempon setempat yang dinamakan Kayoan Dedari. Di sisi Tenggara, ada Petirtan Majapahit atau dinamakan juga Tirta Bujangga. Dan di sisi Selatan ada Pura Payasan.

Apakah semua ada kaitannya? Masih perlu dikaji. Sampai saat ini, kawasan tersebut masih alami dan asri, terbentang hamparan padang kasna (edelweiss) dan bunga gumitir yang menjadi salah satu mata pencaharian penduduk setempat, selain beternak sapi.

“Lebih banyak umat yang tangkil hanya mengenal Pura Tunggul Besi saja,“ jelas Jro Mangku Kari, Jan Banggul pura tersebut.

Dikatakan, keberadaan keempat pura tersebut sudah di-sungsung turun-temurun dari leluhurnya, dan saat ini sedang direncanakan untuk ditata ulang. Tahun 1963, ketika Gunung Agung meletus, sebagian kawasan pura ditutupi pasir. “Sebagian besar penduduk memilih mengungsi ke daerah lain serta membawa harta benda yang bisa diselamatkan termasuk lontar warisan leluhur yang di antaranya mengisahkan keberadaan Pura Tunggul Besi ini,“ jelasnya.

Prasasti Asah Duren

“Sehubungan dengan rencana penataan keempat pura yang ada di kawasan Pura Tunggul Besi, telah dibentuk panitia kerja,“ ungkap Nengah Sindia, ketua panitia terpilih. Beberapa sumber informasi sudah berhasil dikumpulkan, salah satunya berasal dari prasasti yang berada di Banjar Temukus, Desa Asah Duren, Pekutatan, Jembrana. Secara garis besar isinya menyatakan bahwa I Pasek Gelgel ditempatkan di Temukus oleh Ida Dalem (raja saat itu) dan diberikan pasukan yang terdiri dari 8 desa, yakni Temukus, Banjar Tengah, Kesimpar, Pura, Kedampal, Lebih, Telun Bhuwana, dan Badeg. I Pasek Gelgel diberikan kuasa atas desa-desa tersebut, serta kewenangan untuk mengatur segala tata upakara-upacara di Pura Puseh, Dalem, dan Bale Agung. Juga ditugaskan pula untuk menjaga Pura Luwih, Pura Sekar, Pura Singharata dan Pura Tunggul Besi. Keempat pura tersebut ditandai dengan batas-batas : wates klod, di Cangkeng, kangin di Tukad Lebih, kauh di Kayoan Kampek, dan kaler di Jabayan Pura Payasan. Pembacaan prasasti tersebut dilaksanakan 16 November 2005, bertepatan pada rahina Purnama Kalima. Demikian dijelaskan oleh Nengah Sindia.

“Piodalan di Pura Tunggul Besi dilaksanakan enam bulan sekali, yakni setiap rerainan Tumpek Landep,“ jelas Mangku Alit, sembari menyebut piodalan kali ini akan jatuh pada Sabtu, 7 Mei 2011. Biasanya banyak pemedek yang tangkil sembahyang, bahkan ada yang langsung makemit di pura. Piodalan di Pura Luwih setiap Saniscara Kliwon, Kuningan. Di Pura Sekar, dina Anggara Kliwon, Medangsia. Dan di Pura Singharata, pada dina Saniscara Kliwon, Krulut.  Menuju kawasan Pura Tunggul Besi bisa melalui jalan beton di sebelah timur Pura Kiduling Kreteg, atau desa Batusesa.

Ada pula informasi yang mendukung keberadaan keempat pura ini, yang telah diringkas dan dibaca pada dina Saniscara Paing, wuku Menail, 22 September 2007. Isinya, bertutur di antaranya tentang Prabu Marakata Pangkaja, seorang putra dari Prabu Udayana, selain Prabu Erlangga dan Prabu Wungsu (Anak Wungsu). Dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Prabu Marakata, Tutur Gong Besi itu dideklarasikan sebagai uger-uger desa dresta – maka pagwaning desa dresta, pada masa Bali Kuna. Pada masa itu tanah Bali dinamakan Bali Kadewatan.

Menurut Wayan Griya dan Wayan Rema, dari Balai Arkeologi yang melakukan survei, menarik kesimpulan atas peninggalan arkeologi di sejumlah pura di Desa Temukus, Karangasem. Pertama, bahwasannya kawasan lereng Gunung Agung merupakan kawasan cukup penting yang diperhitungkan pada masa lalu. Seperti tersurat dalam prasasti Bila II berangka tahun 955 Caka yang menyebutkan Raja Marakata dimakamkan di sebuah tempat di Bukit Cemara Gunung Agung. Tidak terkecuali juga kawasan di sekitarnya seperti kawasan Desa Temukus ditemukan bangunan suci berupa padma yang diyakini berumur tua, karena memiliki kekhasan relief manusia sederhana pada salah satu sandaran bangunannya.

Mengamati arsitektur bangunan padma bagian depan, diduga didasari konsepsi pada waktu kedatangan Danghyang Nirarta. Beliau memetik bunga dan memegang bunga teratai di depan dada. Kuatnya pengaruh konsepsi padma dalam perkembangan arsitektur tatkala masa kejayaan Raja Dalem Waturenggong pada abad ke-16, diduga pula bangunan ini berasal dari masa abad ke-16/17, karena bangunan pemujaan yang ditemukan di kawasan ini sebagian besar berbentuk padma. Diduga, keberadaan bangunan padma di Pura Temukus berasal pada masa kejayaan berkembangnya arsitektur tersebut di masa pemerintahan Dalem Waturenggong.

Kedua, tinggalan genta perunggu yang ditemukan di Temukus diduga dibuat di Bali, mengingat tradisi pembuatan genta perunggu sudah dikenal sejak lama. Namun konsepsi pembuatan tidak terlepas dari pengaruh luar (Jawa Hindu), melihat pada pengerjaannya yang sangat halus dan patinanya asli kuat melekat dan sukar dibersihkan. Pun memperhatikan tipe hiasannya, maka genta ini cenderung mengarah pada langgam Jawa Timur yang diperkirakan berasal dari abad 16. Dugaan ini didasari atas perbandingan dengan sejumlah koleksi genta pendeta koleksi Sono Budoyo yang berasal dari abad 15-16. Pada ujung genta berhiaskan vajra. Genta ini diduga memiliki makna dan diduga dipergunakan untuk pemujaan Dewa Iswara.
   
Perencanaan penataan ulang dari keempat pura ini sudah disurvei oleh tim dari Unud, khususnya Fakultas Teknik Sipil dan Arsitektur. Tujuannya, membangun kembali dan melengkapi sarana bangunan serta memperluas keempat pura tersebut agar lebih memadai dan ideal sebagai tempat suci, sebagai sarana untuk meningkatkan srada bakti kepada Ida Sang Hyang Embang. Dari sumber referensi seperti yang disebutkan di atas diusulkan agar parahyangan yang akan dibangun  sebagai monumental dari tiga masa yang berbeda, yakni masa Bali Kuno (Prabu Marakata) berupa Candi, masa Bali Majapahit (padma yang ada saat ini), dan masa Bali kekinian. Dimensi bangunan dengan masa yang berbeda ini akan menjadi saksi bisu yang mengisyaratkan bahwa di Bali memang pernah ada masa seperti itu. Inilah yang kami wariskan, sehingga keberagaman masyarakat yang ada eling, tidak ada yang perlu dipertentangkan.   
       
By : Bli Kecuk Bagoes Genjing

Perguruan Pencak Silat Tujuh Sari

Pencak silat sebagai budaya warisan leluhur Nusantara dalam bidang olahraga, seni bela diri dan spiritual sudah berkembang dengan sangat baik, sehingga saat ini juga dipelajari oleh orang-orang dari luar negeri dan meskipun belum secara ekplisit, diakui sebagai seni bela diri dengan ciri khas tersendiri.



Di Indonesia sendiri, sangat banyak bermunculan padepokan pencak silat yang menggusung identitas masing-masing dalam bentuk jurus-jurus maupun metode pelatihannya. Salah satunya adalah Perguruan Pencak Silat Tujuh Sari di Desa Sesetan Denpasar Selatan, yang saat ini sedang melakukan upaya konsolidasi ke dalam untuk kemudian menentukan langkah pengembangan.

Sejarah

Menurut salah seorang sesepuh perguruan ini, I Made Budiyasa, SH., awalnya aliran silat ini dibawa oleh orang Bugis dari Sulawesi dan berkembang di wilayah Bali Utara sebelum menyebar keseluruh daerah di Bali.

Seorang pemuda Sesetan yang suka bertualang,  I Made Yasa yang berkesempatan mendalami seni bela diri ini di Buleleng, kemudian mendirikan perguruannya sendiri di Kapal Taman Sari, lingkungan Banjar Lantang Bejuh Sesetan pada tahun 1921. Di saat yang sama beliau juga dipercaya untuk memimpin Desa Sesetan sebagai Perbekel (lurah) pertama.

Setahun kemudian seni bela diri ini menyebar ke desa-desa tetangga seperti Pemogan, Panjer, Pedungan dan desa-desa lain di wilayah Kabupaten Badung dan Gianyar.

Ciri Khas

Seorang sesepuh sekaligus instruktur pelatihan pencak silat Tujuh Sari, Manik Sudiartha, mengungkapkan bahwa ciri spesifik dari aliran ini adalah jurus-jurus yang ringkas, cepat dan efektif untuk menyelesaikan sebuah pertarungan.

Sesuai namanya, teknik ini memiliki tujuh jurus utama yang sambung menyambung serta muatan dominannya adalah serangan-serangan yang langsung diarahkan ke titik-titik lemah tubuh lawan dengan tujuan untuk melumpuhkan secara cepat.

Beberapa praktisi aliran ini juga menambahkan bahwa teknik ini sangat efektif untuk bela diri seperti yang sudah dialami oleh mereka saat menghadapi konflik dengan orang lain yang dipicu oleh berbagai hal.

Selanjutnya, Manik Sudiartha juga menceritakan pengalamannya yang cukup unik, dimana setelah pertarungan biasanya orang yang sebelumnya menjadi musuh akhirnya justru berbalik menjadi sahabat bahkan saudara. Hal inilah yang kemudian ditekankan kepada seluruh penekun pencak silat Tujuh Sari, bahwa tujuan utama mempelajari aliran ini bukan mencari permusuhan, melainkan sebaliknya untuk menambah teman dan meningkatkan persaudaraan.

Spiritualitas

Seperti juga aliran silat lainnya, pada titik tertentu pelatihan gerak fisik akan dilanjutkan dengan menggembleng diri secara spiritual. Untuk tujuan ini yang dipakai sebagai pakem acuan laku spiritual adalah ajaran lelehur dari zaman Hindu kuno yang disebut ajaran Kanda Pat, dimana menurut ajaran ini diyakini bahwa setiap manusia sudah didampingi oleh saudara empat bahkan sebelum dilahirkan.

Keempat saudara ini terus menerus mengikuti kehidupan manusia serta memberi bantuan saat diperlukan atau memperingatkan akan adanya kondisi berbahaya. Untuk mendapatkan penyertaan yang total dari saudara empat, manusia harus selalu ingat dengan mereka dalam keadaan apapun dengan cara-cara yang disyaratkan oleh ajaran tersebut.

Meski dalam prakteknya yang menjadi fokus laku ritual ajaran ini adalah saudara empat, namun sejatinya yang dipuja adalah Sang Hyang Widhi sebagai sumber dari segala sumber. Sedangkan penghormatan terhadap saudara empat adalah sarana untuk memuja Sang Hyang Widhi, hal mana juga dilakukan oleh pelakon ajaran spiritual lainnya yang memuja Tuhan Yang Maha Esa melalui simbol suci atau Nyasa.


Konsolidasi Menuju Pengembangan

SAAT ini para sesepuh dan pecinta seni bela diri pencak silat Tujuh Sari sedang giat melakukan konsolidasi dengan menyusun kepengurusan yang membidangi banyak hal dengan tujuan untuk menjaga dan mengembangkan aset budaya warisan leluhur, sehingga tetap lestari dan berperan aktif dalam pembangunan nasional.

Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan mengingat dalam perjalanannya, aliran Tujuh Sari pernah menjadi bagian penting yang bersama-sama dengan empat perguruan silat lainhya membangun Pengda IPSI Bali, ternyata belakangan ini kurang menunjukan aktivitas yang dinamis.

Beberapa sesepuh yang merasa prihatin dan berdosa besar kepada leluhur apabila seni beladiri ini sampai putus tanpa penerus, kemudian sepakat untuk membentuk kepengurusan yang akan merumuskan langkah-langkah untuk menjaga dan mengembangkan aset budaya luhur ini.

Saat ini dengan menggunakan tempat seadanya, karena padepokan masih dalam pembangunan, sudah diadakan pelatihan di Sekretariat Perguruan Pencak Silat Tujuh Sari, di Jalan Raya Sesetan, Gang Kelapa No. 12, Denpasar Selatan.

Menurut Manik Sudiartha, untuk langkah awal akan dibina beberapa orang yang akan menjadi kader-kader pelatih dengan tugas untuk melakukan pengembangan di wilayahnya masing-masing dengan cara mendirikan tempat-tempat pelatihan. Sedangkan untuk langkah-langkah selanjutnya akan dirumuskan dalam rapat konsolidasi yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.






Tumpek Uduh

Saatnya Bersahabat dengan Alam
   
Bali, begitu memikat dengan beragam budaya dan alam nan elok menawan. Di setiap bentang alam Bali, tetumbuhan terlihat menghijau.  Anugerah Sang Hyang Widhi ini, tak membuat masyarakat Bali lupa diri. Ada hari tertentu, di mana  umat Hindu  merayakan ritual yang khusus untuk menghormati tumbuh-tumbuhan. Namanya Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag. Sering pula disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh.

Tumpek Bubuh diperingati setiap 210 hari. Pada dasarnya ritual ini dilangsungkan sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widi,  dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, yang telah memberkahi umat manusia dengan beraneka ragam tumbuhan. Peranan tumbuhan memang amat besar dalam kehidupan manusia, untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. 

Tumpek Uduh seharusnya menjadi momentum, betapa pentingnya tanaman bagi kehidupan manusia. Semestinya, perayaan tidak hanya sekadar ritual belaka, melainkan dengan tindakan riil. Seperti dengan melakukan penanaman pohon demi kelestarian lingkungan. Keberadaan memang pepohonan sangat bermanfaat. Buahnya bisa menghidupi manusia, selain itu juga menghasilkan oksigen sekaligus menyerap polusi, sehingga kehidupan menjadi seimbang.

Sesungguhnya, Tumpek Uduh, bukanlah momen khusus  untuk menyembah tumbuh-tumbuhan. Justru yang disembah adalah Sang Hyang Widhi Wasa, dengan harapan agar melalui tumbuh-tumbuhan manusia senantiasa diberikan karunia dan berkah di sepanjang hayat.

Dilihat secara estetika, pepohonan yang hidup segar, tentu menjadi pemandangan menarik ketimbang lingkungan yang kering dan gersang. Akar pohon juga menjadi pengikat tanah, sehingga tidak terjadi erosi. Manfaat lain yang tidak kalah berarti, pohon mampu menyimpan air sehingga bumi tidak mengalami kekeringan, sekaligus dapat menyerap air agar tidak terjadi banjir di saat hujan lebat mengguyur.
Beragam fungsi pohon, memang sudah selayaknya menyadarkan manusia, betapa kehidupan ini sangat bergantung pada pepohonan, sehingga sudah selayaknya manusia bersahabat dengan alam.  Tumpek Uduh, merupakan ajang refleksi yang tepat untuk bersyukur kepada Sang Hyang Widhi. Untuk memohon agar Beliau menjaga tumbuh-tumbuhan sehingga terhindarkan dari serangan hama dan penyakit.

Menghargai Ciptaan

PANDE KOMANG MERTHA, seorang pemangku sekaligus tukang banten dari Banjar Pande, Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem mengungkapkan,  upakara yang disiapkan dalam ritual Tumpek Uduh, berupa  soroan tumpang pitu. Meliputi peras, penyeneng, pengambyan, tipat dampulan, sayut, jajan, sirah nasi, buah-buahan dan tumpeng guru. Pada pohon yang dipilih, diberi set-set, gantung-gantungan dan tulung tanggeh, disertai doa pengharapan semoga pohon-pohon itu akan menghasilkan buah yang berlimpah atau senantiasa dipenuhi bunga-bunga yang semerbak bermekaran. Pelaksanaan waktu untuk bersembahyang, bisa pagi, siang atau sore hari, yang  dilangsungkan di  pekarangan, sawah atau kebun.
“Yang tidak boleh dilupakan, pada  masing-masing bagian dari upakara itu, memakai bubur. Biasanya yang digunakan adalah bubur beras putih yang dimasak dengan taburan gula merah  dan parutan kelapa,” ujar Mangku Pande, demikian ia biasa dipanggil.

Ajaran pada ritual Tumpek Uduh ini, jelas Mangku Pande, amat bernilai sehingga manusia dapat menghargai ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa, khususnya pada tumbuh-tumbuhan. Jika manusia benar-benar menghargai tumbuhan, pasti alam Bali akan kembali menghijau.

“Alangkah indahnya jika Bali  bisa kembali seperti zaman dulu, di mana-mana pohon tumbuh subur, meski tidak pakai pupuk. Kalau sekarang,  susah sekali menghirup udara yang bebas polusi. Semoga dengan peringatan Tumpek Uduh, manusia bisa dekat kembali dengan tumbuhan,” kata Mangku Pande. 


Caru Adalah Memaknai Ruang dan Waktu


Setiap upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada lima unsur yang memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Lima unsur tersebut adalah Mantra, Tantra, Yantra, Yadnya dan Yoga. Yantra itu berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk simbol.

Yantra dalam upacara agama Hindu di Bali disebut banten atau upakara. Banten inilah yang menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan dan hewan di samping unsur unsur panca maha bhuta lainya.

Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, " ..... Sehananing bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Andha Bhuwana." Artinya, semua bebanten adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta. Berdasarkan uraian Lontar Yadnya Prakerti ini banten memiliki tiga makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia, baik lahir maupun batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud kemahakuasaan Tuhan dan banten juga melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa planet-planet isi ruang angkasa.

Caru Artinya Cantik

Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan.

Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik.

ButhaYadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan terganggu. Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang proses berkembangnya makhluk hidup dari makanan. Dari hujan datangnya makanan. Hujan itu datang dari Yadnya. yadnya itu adalah Karma. Dalam Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya hujan. Namun dalam proses menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan saja yang dapat melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga berfungsi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

Tanah, api (matahari), udara dan ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Peredaran kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena itu upacara mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar memiliki wawasan kesemestaan alam.

Hubungan antara manusia dehgan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya sebagaimana ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya antara alam dan manusia harus menjaga kehidupan yang saling memelihara berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini karena Yadnya dari Tuhan. Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara langsung. Utang moral itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra. Dalam Yajurveda XXXX.l disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam yang bergerak atau tidak bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya alam itu adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu berarti suatu kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat alam.

Di dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan digunakan tumbuhtumbuhan dan, hewan tertentu sebagai sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk hidup tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.

Akan menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut hanya mentok di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari upacara mecaru itu adalah pelestarian alam dengan eko sistemnya. Dari alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan. Jadinya hakekat Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam lingkungan sebagai sumber kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan sudut pandang upacara; caru itu adalah salah satu jenis upacara Butha Yadnya.

Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.

Menurut Lontar Dang Dang Bang Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan binatang kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur. Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara lain disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada hakekatnya semuanya itu tujuannya adalah mecaru mewujudkan keharmonisan sistem alam semesta.

Dengan Caru Mengatasi Bhutakala

Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.

Jadi hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu hubungan yang harrnonis antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah tujuan dari upacara mecaru itu.

Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api dan air bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.

Dari sudut arti kata, Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur alam kita ini. Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu unsur tanah, air, api, udara dan ether. Lima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala. Bhuta Kala arti sebenarnya adalah Ruang dan Waktu. Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.

Mengapa caru Menggunakan Binatang

Banten Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam.

Demikian seterusnya. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.

Drs. I Ketut Wiana, M.Ag.

Penulis, ketua Sabha Walaka PHDI Pusat.

Minggu, 04 September 2011

A Marriage

When I got home that night as my wife served dinner, I held her hand and said, I've got something to tell you. She sat down and ate quietly. Again I observed the hurt in her eyes.


Suddenly I didn't know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking. I want a divorce. I raised the topic calmly.
She didn't seem to be annoyed by my words, instead she asked me softly, why?

I avoided her question. This made her angry. She threw away the chopsticks and shouted at me, you are not a man! That night, we didn't talk to each other. She was weeping. I knew she wanted to find out what had happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer; she had lost my heart to Jane. I didn't love her anymore. I just pitied her!

With a deep sense of guilt, I drafted a divorce agreement which stated that she could own our house, our car, and 30% stake of my company.

She glanced at it and then tore it into pieces. The woman who had spent ten years of her life with me had become a stranger. I felt sorry for her wasted time, resources and energy but I could not take back what I had said for I loved Jane so dearly. Finally she cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me her cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me for several weeks seemed to be firmer and clearer now.

The next day, I came back home very late and found her writing something at the table. I didn't have supper but went straight to sleep and fell asleep very fast because I was tired after an eventful day with Jane.
When I woke up, she was still there at the table writing. I just did not care so I turned over and was asleep again.

In the morning she presented her divorce conditions: she didn't want anything from me, but needed a month's notice before the divorce. She requested that in that one month we both struggle to live as normal a life as possible. Her reasons were simple: our son had his exams in a month's time and she didn't want to disrupt him with our broken marriage.

This was agreeable to me. But she had something more, she asked me to recall how I had carried her into out bridal room on our wedding day.

She requested that every day for the month's duration I carry her out of our bedroom to the front door ever morning. I thought she was going crazy. Just to make our last days together bearable I accepted her odd request.

I told Jane about my wife's divorce conditions. . She laughed loudly and thought it was absurd. No matter what tricks she applies, she has to face the divorce, she said scornfully.

My wife and I hadn't had any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. So when I carried her out on the first day, we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, daddy is holding mommy in his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom to the sitting room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She closed her eyes and said softly; don't tell our son about the divorce. I nodded, feeling somewhat upset. I put her down outsidethe door. She went to wait for the bus to work. I drove alone to the office.

On the second day, both of us acted much more easily. She leaned on my chest. I could smell the fragrance of her blouse. I realized that I hadn't looked at this woman carefully for a long time. I realized she was not young any more. There were fine wrinkles on her face, her hair was graying! Our marriage had taken its toll on her. For a minute I wondered what I had done to her.

On the fourth day, when I lifted her up, I felt a sense of intimacy returning. This was the woman who had given ten years of her life to me.

On the fifth and sixth day, I realized that our sense of intimacy was growing again. I didn't tell Jane about this. It became easier to carry her as the month slipped by. Perhaps the everyday workout made me stronger.
She was choosing what to wear one morning. She tried on quite a few dresses but could not find a suitable one. Then she sighed, all my dresses have grown bigger. I suddenly realized that she had grown so thin, that was the reason why I could carry her more easily.

Suddenly it hit me... she had buried so much pain and bitterness in her heart. Subconsciously I reached out and touched her head.

Our son came in at the moment and said, Dad, it's time to carry mom out. To him, seeing his father carrying his mother out had become an essential part of his life. My wife gestured to our son to come closer and hugged him tightly. I turned my face away because I was afraid I might change my mind at this last minute. I then held her in my arms, walking from the bedroom, through the sitting room, to the hallway. Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held her body tightly; it was just like our wedding day.

But her much lighter weight made me sad. On the last day, when I held her in my arms I could hardly move a step. Our son had gone to school. I held her tightly and said, I hadn't noticed that our life lacked intimacy.
I drove to office.... jumped out of the car swiftly without locking the door. I was afraid any delay would make me change my mind...I walked upstairs. Jane opened the door and I said to her, Sorry, Jane, I do not want the divorce anymore.

She looked at me, astonished, and then touched my forehead. Do you have a fever? She said. I moved her hand off my head. Sorry, Jane, I said, I won't divorce. My marriage life was boring probably because she and I didn't value the details of our lives, not because we didn't love each other anymore. Now I realize that since I carried her into my home on our wedding day I am supposed to hold her until death do us apart.

Jane seemed to suddenly wake up. She gave me a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked downstairs and drove away.

At the floral shop on the way, I ordered a bouquet of flowers for my wife. The salesgirl asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I'll carry you out every morning until death do us apart.

That evening I arrived home, flowers in my hands, a smile on my face, I run up stairs, only to find my wife in the bed - dead.

My wife had been fighting CANCER for months and I was so busy with Jane to even notice. She knew that she would die soon and she wanted to save me from the whatever negative reaction from our son, in case we push thru with the divorce.-- At least, in the eyes of our son--- I'm a loving husband....

The small details of your lives are what really matter in a relationship. It is not the mansion, the car, property, the money in the bank. These create an environment conducive for happiness but cannot give happiness in themselves. So find time to be your spouse's friend and do those little things for each other that build intimacy.

Do have a real happy marriage!

If you don't share this, nothing will happen to you.

If you do, you just might save a marriage.

Many of life's failures are people who did not realize how close they were to success when they gave up