Galungan jatuh pada hari Buda Kliwon Dungulan. Kuningan jatuh pada hari Saniscara Kliwon Sinta (Tumpek Kuningan). Galungan pada tahun ini jatuh pada tanggal 6 Juli 2011, sedangkan Kuningan jatuh pada tanggal 16 Juli 2011. Merupakan perayaan terbesar dan sakral bagi orang Bali. Prosesi hari raya Galungan dimulai saat hari Saniscara Kliwon Wariga (Tumpek Wariga/Tumpek Uduh/Tumpek Pengatag). Dan prosesi Galungan dan Pegatwakan.
Hal yang paling khas terlihat pada saat menjelang hari Galungan adalah adanya kesibukan masyarakat khususnya orang Bali dalam melakukan persiapan upacara dengan memasang wastra, menata rumah serta penjor yang berdiri di depan rumah di sepanjang jalan. Para wanita sibuk membuat jajanan dan mempersiapkan hasil bumi untuk ditata di atas banten sebagai persembahan kepada alam semesta. Sementara kaum pria menata rumah dan merajan, memasangi wastra untuk persiapan pelaksanaan upacara. Sebuah tradisi yang diwariskan turun-temurun dan masih melekat hingga kini.
Sejauh ini masyarakat memahami hari raya Galungan dan Kuningan sebagai hari "kemenangan dharma melawan adharma". Pemahaman ini telah dibenamkan di benak orang Bali sejak anak-anak. Dan hanya sejauh itulah yang umumnya dipahami. Namun kali ini redaksi Galang Kangin mencoba memberi pandangan yang berbeda dalam memaknai hari raya Galungan dan Kuningan.
Galang Kangin melihat hari Galungan - Kuningan sebagai proses penciptaan alam semesta. Galungan yang dirayakan setiap 210 hari sekali melambangkan proses penciptaan yang selalu berkesinambungan. Seperti halnya manusia dimana setiap kelahirannya ditetapkan sebagi "otonan-nya", maka hari Galungan - Kuningan merupakan "oton" dari alam semesta. Galungan merupakan awal penciptaan, sementara Kuningan merupakan akhir dari proses dimana ciptaan telah mewujud. Hal ini bisa diilustrasikan dengan proses pernikahan yang terjadi di Bali.
Prosesi hari Galungan diawali dari hari Tumpek Pengatag. Ini merupakan proses awal dari sebuah pernikahan (baca: penciptaan), dimana pihak yang akan menikah memanggil dan menyiarkan kepada para handai taulannya, untuk membuat kesepakatan. Demikian pula alam beserta komponennya bersepakat untuk melakukan proses penciptaan. Prosesi selanjutnya jatuh pada hari Sugihan Jawa. Sebelum proses pernikahan (baca: penciptaan) dilangsungkan, dilakukan pembersihan terhadap hal-hal di luar diri (Jawa = Jaba = luar). Alam pun akan mengambil sikap ini yang terwakili melalui komponen-komponennya. Orang Bali yang merupakan komponen dari alam Bali, pada hari Sugihan Jawa ini, dengan suka cita akan membersihkan, menata dan menghias rumah dan merajan-nya.
Ini merupakan persiapan fisik dari proses penciptaan. Satu hari berikutnya adalah hari Sugihan Bali. Kata Bali sama dengan Bala atau berarti "Dia yang memiliki kekuatan". Kata "Dia" dikonotasikan kepada Sang Diri. Setelah lingkungan yang merupakan aspek di luar diri dibersihkan dan ditata, pada hari Sugihan Bali, mulai melakukan pembersihan dan penataan diri. Alam mulai menata dirinya melalui komponennya, yaitu orang Bali, mempersiapkan aspek pikiran dan mentalnya ke arah proses penciptaan.
Prosesi selanjutnya adalah hari Penyekeban. Dalam proses penciptaan dibutuhkan dua unsur, yaitu unsur maskulin (purusa/laki-laki) dan unsur feminin (pradana/wanita). Dalam tradisi pernikahan di Bali, tiga hari menjelang hari pernikahan, pihak wanita (pradana) akan dipinang dan dikurung (disekeb) di gedong. Dalam konteks Galungan secara holistik, pada saat ini alam semesta sedang mempersiapkan aspek feminin (pradana) agar matang dan terpusat menjadi sebuah energi. Sementara dalam tradisi Galungan, masyarakat pada umumnya membuat (nyekeb) tape.
Sehari kemudian disebut sebagai hari Penyajaan. Sering diartikan saat untuk membuat jajanan untuk upacara. Sementara pihak laki-laki akan membuat penjor dan mendirikannya di depan rumah. Ilustrasi dari membuat jajanan itu sendiri merupakan elemen pelengkap dari proses penciptaan. Sedangkan pembuatan dan pendirian penjor memiliki makna tersendiri.
Pada umumnya penjor diartikan sebagai perwujudan gunung. Gunung merupakan aspek maskulin (purusa). Aspek maskulin dari alam semesta disimbolkan dengan lingga. Sehingga penjor merupakan perwujudan dari lingga. Atau (maaf) dengan bahasa sedikit vulgar, penjor melambangkan kelamin laki-laki yang sedang tegak berdiri/ereksi. Yang siap bertemu dan bersatu dengan yoni, sang pradana. Bahkan sekilas secara anatomi pun tanpak jelas menggambarkan kelamin laki-laki.
Sehari menjelang Galungan, adalah hari Penampahan. Orang Bali biasanya memotong hewan untuk melengkapi sarana upacara dan sisanya untuk dikonsumsi sendiri. Hakekat dari hari penampahan terletak pada tumpahnya darah. Ketika lingga yang telah tegak berdiri (penjor) bertemu dengan yoni yang telah matang dan siap menanti, lalu terjadi proses penyatuan, saat inilah darah tertumpah (pada manusia robeknya selaput dara). Jadi pada penampahan, terjadi penyatuan lingga yoni di tatanan fisik.
Galungan
Ketika proses penyatuan telah mencapai puncak/klimaks, saat itulah energi maskulin/sang purusa yang mewujud dalam bentuk spermatozoa, keluar, bergerak dan menyatu dengan energi feminin/sang pradana dalam bentuk sel telur (ovum). Di sinilah proses penciptaan terjadi. Ketika sperma bertemu dengan sel telur. Ketika kama petak menyatu dengan kama bang. Ketika lingga bersatu dengan yoni. Atau dalam bahasa spiritual disebutkan bersatunya Siwa sang purusa dengan Parwati sebagai pradana. Saat itulah dua yang menjadi satu mewujud menjadi Ongkara (OM). Hari Galungan merupakan titik dimana penciptaan terjadi. Saat inilah waktu mulai tercipta. Sama halnya dengan manusia, umur janin dihitung ketika zygote (janin) mulai terbentuk. Saat itulah dikatakan waktu tercipta, karena penghitungan umur janin dimulai.
Dari hari Galungan menuju hari Kuningan berjarak sepuluh hari. Ini melambangkan sepuluh tahapan dari Dasa Maha Widya (sepuluh pengetahuan utama) dari proses penciptaan. Sementara diantara sepuluh titik terdapat sembilan jeda/antara. Ini melambangkan sembilan bulan proses pertumbuhan janin di dalam rahim hingga hari kelahiran. Pada saat proses penciptaan berlangsung, digambarkan seluruh dewata-dewati turun ke dunia untuk menyaksikan dan memberi berkah. Menggambarkan seluruh energi, seluruh elemen, seluruh aspek alam semesta turut ambil bagian saat berlangsungnya penciptaan. Sementara sepuluh tahapan penciptaan, dalam Dasa Maha Widya dimanifestasikan menjadi wujud sepuluh dewi yaitu Kali, Tara, Tripura Sundari, Buana Iswari, Bhairawi, Chinnamasta, Dhumawati, Bhagalamuki, Matangi, Kamalatmika.
Kuningan (Tumpek Kuningan)
Setelah melalui sembilan jeda (sembilan proses), maka pada hari kesepuluh, tepatnya pada Kuningan, proses penciptaan mencapai puncaknya, dimana hasil dari ciptaan telah mewujud. Kuningan merupakan salah satu dari enam rerainan tumpek. Rerainan tumpek jatuh pada pertemuan Saniscara yang merupakan puncak dari Saptawara, dengan Kliwon yang merupakan puncak dari Pancawara. Masing-masing merupakan puncak siklus.
Saptawara mewakili aspek pradana sementara Pancawara mewakili aspek purusa. Sehingga tumpek merupakan penyatuan dari purusa-pradana yang berwujud "OM" (Ongkara). Sementara Kuningan mewakili pertiwi yaitu materi. Tumpek Kuningan bisa dimakanai dengan OM (Ongkara) yang mengambil wujud dalam bentuk materi (Pertiwi). Pada hari Kuningan ini proses penciptaan mencapai puncaknya dengan mewujudnya ciptaan tersebut (buana agung/buana alit) dalam materi (Pertiwi). Pada hari ini dewata-dewati, widyadara-widyadari menari bersuka-cita menyambut Dia Yang Agung mengambil wujud untuk kembali masuk dalam "permainanNYA". Dia yang disebut sebagai Lalita Tripura Sundari Kamalatmika Bhairawi (Dia yang bermain, yang menguasai tiga dunia).
By Jro Gede S.